Tokoh yang satu ini cukup sering jadi bahan perbincangan. Selain prestasinya di banyak klub besar, termasuk yang terakhir di Real Madrid, hingga keputusannya melatih timnas Brasil. Dia adalah Carlo Ancelotti. Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana Don Carlo meracik strateginya. Saya akan membahas secara singkat salah satu buku biografi sepak bola berjudul “Preferisco la Coppa: Vita, partite e miracoli di un normale fuoriclasse”, terbitan 2009.
Sebuah buku yang saya baca sambil belajar sedikit-sedikit bahasa Italia. Walau pada akhirnya saya menyerah dan memilih membaca versi terjemahannya ke bahasa Inggris yang berjudul: “Carlo Ancelotti: The Beautiful Games of an Ordinary Genius”. Ada beberapa hal menarik dari buku ini yang tentu saja berasal dari cerita langsung Ancelotti.
Salah satunya, dari buku ini kita bisa memahami bagaimana kecintaan Don Carlo terhadap makanan. Ya! Ancelotti dalam buku ini menceritakan betapa dia mencintai dan menghargai makanan. Di salah satu bab dikisahkan bagaimana momen ketika Don Carlo terus memilih memainkan Clarence Seedorf. Pada saat itu ada seorang fans yang memaki dan mengatakan “Go back to Parma, and Pig out on Tortellini!”, yang langsung memicu reaksi keras dari Ancelotti.
Dia begitu marah ternyata karena menganggap Tortellini adalah makanan yang spesial untuknya. Sebuah santapan khas Italia yang pada masa kecilnya hanya disajikan pada Minggu, dan dinikmati bersama keluarga besarnya. Pada masa itu, makan Tortellini merupakan hal yang mewah bagi keluarga yang tidak terlalu kaya seperti dia.
Analogi tentang makanan dan kehidupan berulang kali ditulis dalam buku ini. Pada kisah lain juga ada cerita tentang bagaimana Ancelotti memandang sesi makan bersama saat melatih AC Milan sangatlah penting. Karena pada momen tersebut dia bisa menyatukan semua pemainnya yang datang dari berbagai macam negara, umur, dan latar belakang. “Makanan menyatukan semua”, begitu salah satu pandangannya.
Ada cerita lain tentang sebuah lelucon antara Adriano Galliani yang masih jadi petinggi AC Milan, dengan Ancelotti. Galliani berceloteh bahwa akhirnya sekarang di Milanello menu pilihan makanannya akan jadi enak lagi (mungkin pada masa kepelatihan Fatih Terim, pilihan diet makanan dianggap tidak cocok di lidah banyak pemain).
Hal lainnya yang menarik dari buku ini adalah cerita hubungan Don Carlo dengan beberapa pemain, yang sebagian besar mungkin kita sudah familiar. Salah satunya tentu saja tentang Ricardo Izecson dos Santos Leite, yang lebih dikenal dengan nama Kaka. Saking spesialnya pemain ini dan cerita uniknya, dalam buku ini bahkan dibuatkan dalam satu bab khusus, dengan judul: “Kaka, the greatest unknown player on earth”.
Seperti yang mungkin sempat beredar dalam penggalan kisah di Instagram atau Tiktok, diceritakan bagaimana saat pertama kali Kaka tiba di Bandara Malpensa, Milan. Tampilannya saat itu seperti anak teladan dengan nilai terbaik di sekolah: baju dan rambut tertata rapi dengan kacamata khas anak terpelajar.
Ancelotti berkisah bagaimana lawan pertama dalam sesi latihan perdana Kaka adalah Gennaro Gattuso. Setelah berduel bahu dengan The Rhino -julukan Gattuso-, dia ternyata masih bisa melewatinya. Lalu, sebelum Alessandro Nesta bisa menutup ruang gerak dari jarak 27 meter, Kaka langsung melepaskan tendangan keras terukur yang membuat semua pemain terdiam. Hal ini terus berulang terjadi pada hari pertama Kaka di Milanello. Sebuah legenda baru saja terlahir.
Selain soal Kaka, ada hal lainnya yang menarik di buku ini, sebuah kisah pedih di Istanbul yang akhirnya berujung indah di Athena, gelar ketujuh Liga Champions bagi Rossoneri. Cerita ini tertuang dalam bab berjudul “The Truth From Istanbul: You Have to Fall to Rise Again”. Cerita final Liga Champions yang mungkin pedih bagi para Milanisti. Saat keunggulan 3-0 pada babak pertama berhasil disusul jadi 3-3 oleh Liverpool, dan pada akhirnya Milan kalah dalam adu penalti.
Sebuah pelajaran berharga yang kelak menjadi modal untuk membalas di Athena. Satu hal yang dikisahkan oleh Ancelotti, seharusnya final Liga Champions di Istanbul ini menjadi pertandingan terakhir dari Gattuso. Namun akhirnya malah menjadi momen menyatukan semua pemain untuk kembali bersama dan membalas kekalahan dari Liverpool pada perjumpaan di final berikutnya, di Athena.
Kisah singkat tentang pertandingan final di Athena ini dituliskan dalam bab berjudul “The Perfect Match, Played the Night Before”, dimana kisah utama dari bab ini justru adalah tentang partai semifinal saat Milan melawan Manchester United. Cerita undangan makan malam dari Manajer Man Unite, Sir Alex Ferguson, pembicaraan antara Ancelotti dengan Massimo Ambrosini, hingga akhirnya pemain dan staff Milan yang bersorak saat kepastian akan bertemu Liverpool kembali di final. Sebuah penantian yang akhirnya berakhir bahagia bagi Milan.
Buku “Preferisco la Coppa: Vita, partite e miracoli di un normale fuoriclasse” ini tidak hanya menarik untuk penggemar sepak bola, tapi juga untuk siapa pun yang ingin belajar tentang kepemimpinan, kerja sama tim, dan bagaimana tetap rendah hati di tengah kesuksesan. Gaya tulisannya ringan, penuh humor khas Italia, dan sarat nilai kehidupan. Sebuah buku yang sangat sayang untuk dilewatkan, terutama apabila hari-harimu selalu dipenuhi dengan sepak bola.